Kaidah-kaidah Fikih

Leave a comment

Pada artikel “Antara Penjahit dengan Toko Baju” telah dipaparkan betapa pentingnya mengenal kaidah-kaidah fikih yang mana akan sangat membantu dalam memahami permasalahan-permasalahan yang belum dijumpai di masa-masa awal Islam. Syari’at Islam telah sempurna dari berbagai sisi, hanya saja tidak semua umat Islam mengetahui berbagai permasalahan secara rinci. Terlebih lagi dengan adanya perkembangan zaman dengan segala variasi permasalahannya, yang mana berbagai permasalah baru tersebut belum dijelaskan secara rinci dalam kitab-kitab fikih klasik. Oleh karena itu, kita bersyukur dengan adanya ulama yang telah bersungguh-sungguh mengkaji sumber-sumber hukum agama ini kemudian membuat suatu dhawabith (batasan-batasan) dan qowa’id (kaidah-kaidah) yang dapat membantu umat Islam untuk memahami berbagai permasalahan baru. Karena berbagai permasalahan yang terjadi dan yang akan terjadi membutuhkan timbangan syariat, sehingga hati menjadi tenang dengannya.  More

Antara Penjahit dengan Toko Baju

Leave a comment

Jika kita datang kepada penjual baju, maka kita hanya bisa membeli apa yang tersedia di tokonya. Sedangkan kalau kita datang ke tukang jahit baju, maka dia bisa membuat baju model apa saja kita kehendaki, yang pas dengan badan kita, bahkan kita bisa pilih bahannya yang terasa nyaman buat kita.

Ibarat tukang jahit baju yang selalu dapat menjahit berbagai model baju dari berbagai jaman, demikianlah Islam telah dijadikan agama yang sempurna yang bisa menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Bisa dibayangkan jika Islam hanyalah seperti toko baju, maka dia hanya akan cocok untuk permasalahan-permasalahan pada jaman diturunkannya Islam. Ini adalah bukti dari kesempurnaan nikmat Allah Ta’ala.

Seorang tukang jahit yang profesional, yang punya integritas, serta nilai-nilai yang menjadi pedomannya dalam berkarya, pastilah tidak mau asal terima pesanan. Tidak semata-mata demi pelanggan, demi fulus, segala pesanan dikerjakannya. Tentu tidak. Memang benar, dia bisa mengikuti perkembangan mode, akan tetapi tentu tidak semua mode sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangannya. Islam merupakan agama yang sarat dengan nilai-nilai yang mulia. Yang dengannya mampu menghadapi permasalahan-permasalahan yang beragam dari jaman ke jaman, sekaligus dapat mem-filter mana yang masih sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan nilai-nilainya. Jadi Islam tidak begitu saja menerima setiap urusan yang muncul pada setiap jaman.

Sudah dipahami bersama bahwa hukum-hukum dalam islam ini berputar pada tingkatan wajib-sunnah-mubah-haram-makruh. Semuanya bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan) Ulama. Para ulama yang ber-ijtihad pun tidak akan keluar dari sumber-sumber yang telah tetap tersebut, meskipun sesekali harus melakukan Qiyas (analogi) jika tidak didapati dari ketiga sumber tersebut, dan itupun dilakukan dengan syarat-syarat yang cukup ketat.

Dalil-dalil yang telah kita jumpai di kitab-kitab rujukan merupakan jawaban atas permasalahan yang muncul pada waktu turunnya wahyu masih berlangsung. Ketika wahyu telah terputus, maka tidak ada lagi jawaban dari langit yang sudah pasti benar adanya. Namun permasalahan terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman, yang mana semua itu membutuhkan sebuah keterangan tentang status hukum dari tiap-tiap perkara. Dulu tidak ada sekolah, tidak ada sistem kenegaraan, Al Qur’an tidak dibukukan, belum ada berbagai macam alat transportasi dan komunikasi, belum ada mata uang kertas, jenis mata pencaharian manusia belum sebanyak sekarang, dan lain sebagainya. Lalu apakah Islam tidak mampu memberikan jawaban atas semua masalah-masalah baru itu?

Tentu saja Islam mampu. Allah Ta’ala telah mencukupkannya ketika memutus turunnya wahyu. Setelah wahyu terputus, dengan diwafatkannya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, berarti pedoman dalam Islam telah sempurna, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Allah ’Azza wa Jalla di surat Al Maidah ayat 3.  Lalu bagaimana Islam mampu menjawab semua itu? Bukankah banyak sekali permasalahan-permasalahan baru yang dulu belum pernah ada di jaman permulaan Islam yang kini dikenal dengan istilah ’kontemporer’?

Para Ulama adalah pewaris para Nabi, yang mana mereka telah mengambil bagian yang banyak dengan mengambil warisan dari para Nabi, yaitu ilmu yang bermanfaat. Dengan ilmunya tersebut, para Ulama pun menjadi orang-orang yang paling takut kepada Allah Ta’ala. Dan Allah sendiri memerintahkan agara para Ulama Rabbani itu senantiasa mengajarkan kitab kepada manusia dan terus menerus mempelajarinya.

Dengan taufiq dari Allah ’Azza wa Jalla, para Ulama telah mampu menarik berbagai kesimpulan hingga dapat dikeluarkan darinya rumus-rumus dasar atau apa yang disebut dengan ’kaidah’. Kaidah-kaidah yang ada merupakan kesimpulan dari berbagai sumber hukum Islam, yaitu Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dengan Kaidah inilah, Islam mampu menjawab berbagai masalah dari jaman ke jaman. Jika kita telah mengetahui kalau satu dikalikan bilangan berapapun itu sama dengan bilangan pengalinya, maka meskipun suatu permasalahan disampaikan sedemikian rupa, dengan mudah kita akan menjawabnya. Seperti persoalan-persoalan yang diberikan bapak-ibu guru di bangku sekolah, baik dalam pelajaran matematika, fisika, akutansi, dan lain-lain dalam bentuk soal cerita, yang terkadang membuat kita melakukan kesalahan dalam menjawabnya karena ketidakmampuan kita dalam menguasai rumus dasarnya.

Demikian juga kaidah-kaidah dalam Islam. Kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama terbukti mampu menjawab segala persoalan baru pada setiap jaman. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, dengan izin Allah kita akan mampu mensikapi berbagai permasalahan baru dengan tepat, tanpa keraguan, dan tanpai melampaui batas.

Muscat, 5 April 2011

Terinspirasi dari kajian Kaidah Ushul Fikih ustadz Abu Ubaidah dan ustadz Ahmad Sabiq hafidhahumullah