Berbagai Permasalahan Haji

4 Comments

Berikut ini adalah beberapa permasalahan seputar Haji yang diambil www.almanhaj.or.id yang bersumber dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc. dan juga dari website lainnya yang merupakan Jawaban Ulama atau Ustadz-ustadz lainnya yang membahas berbagai permasalahan yang umumnya terjadi dan sering ditanyakan oleh calon jamaah haji.

1. MELEWATI MIQAT TANPA IHRAM

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana hukum orang yang melewati miqat tanpa ihram, baik ketika dia datang ke Mekkah untuk haji, umrah atau tujuan yang lain ?

Jawaban: Orang yang datang ke Mekkah untuk haji atau umrah dan dia belum ihram ketika telah melewati miqat maka dia wajib kembali ke tempat miqat dan ihram untuk haji dan umrah dari miqat tersebut. 

2. MENGGUNAKAN TABLET PENCEGAH HAIDH DALAM HAJI

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum menggunakan tablet untuk mencegah haidh selama dalam haji .?

Jawaban: Tidak mengapa melakukan hal tersebut karena terdapat manfaat dan maslahat sehingga seorang wanita dapat thawaf bersama manusia dan tidak kesulitan dalam menemaninya.

3. HAL-HAL YANG DILARANG DALAM IHRAM DAN BAGIAN-BAGIANNYA

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah hal-hal yang wajib dijauhi oleh orang yang sedang ihram dan bagian-bagiannya ?

Jawaban
Adapaun hal-hal yang dilarang ketika ihram ada sembilan hal :
[1]. Memotong atau mencabut rambut dari kepala atau badan
[2]. Memotong kuku dari tangan atau kaki.
[3]. Memakai kain berjahit bagi laki-laki, yaitu setiap pakaian yang di jahit menurut ukuran anggota badan, seperti qamis, celana, jubah, kaos, peci, topi, dan lain-lain.
[4]. Menutup kepala dengan hal-hal yang menyentuh kepala sepeti sorban dan peci. Lain halnya payung, kemah dan membawa barang di atas kepala, maka demikian itu tidak dilarang.
[5]. Memakai parfum, yaitu setiap hal yang berbau wangi dengan tujuan memakainya di baju atau di badan, seperti misik, mawar, rayhan, dan minyak wangi yang lain.
[6]. Bertujuan memburu binatang darat yang lepas, seperti burung merpati, kijang dan lain-lain.
[7]. Melakukan akad nikah. Maka orang yang ihram tidak boleh meminang, menikah, menjadi wali nikah, dan lain-lain.
[8]. Bersetubuh dengan istri.
[9]. Bercumbu dengan istri/suami, seperti meraba-raba, mencium dan lain-lain.

Sembilan hal tersebut dikelompokkan dalam empat bagian.
Pertama : Harus membayar fidyah, tapi tidak membatalkan ibadah (haji atau umrah), yaitu bagi lima hal yang pertama.
Kedua : Ada denda yang setimpal, yaitu berburu.
Ketiga : Membatalkan ibadah dan tidak harus membayar fidyah, yaitu akad nikah.
Keempat : Tidak membatalkan ibadah tapi harus membayar dam, yaitu bersentuhan kulit (bercumbu) dengan syahwat. Bersetubuh dengan istri.

4. MELANGGAR LARANGAN IHRAM KARENA TIDAK TAHU ATAU LUPA

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa hukum orang yang melakukan sesuatu dari sembilan yang dilarang dalam ihram karena tidak tahu atau lupa ?

Jawaban
Barangsiapa mencabut rambut atau memotong kuku karena lupa maka tiada dosa baginya dan tiada wajib membayar fidyah. demikian pula orang yang memakai parfum atau menutup kepala atau memakai pakaian berjahit karena lupa. Sebab Allah tidak akan menuntut demikian itu seperti disebutkan dalam firman-Nya.
“Artinya : Ya, Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah” [Al-Baqarah : 286]

Dimana dalam hadits shahih disebutkan bahwa Allah menjawab do’a tersebut seraya berfirman : “Sungguh Aku telah melakukan”.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
“Artinya : Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu” [Al-Ahzab : 5]

Dalam hadits disebutkan :
“Artinya : Diampuni umatku karena khilaf dan lupa” [Hadits Riwayat Ibnu ‘Ady]

Adapun membunuh binatang buruan maka semua ulama menetapkan hukum padanya dan tidak menanyakan apakah kamu sengaja atau karena khilaf. Dan barangkali yang benar adalah bahwa demikian itu tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah atas manusia jika karena tidak tahu. Sebab Allah berfirman.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu membunuh dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa” [Al-Maidah : 95]

Adapun akad nikah maka tidak sah hukumnya walaupun karena tidak tahu, tapi tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan bersetubuh dan bercumbu dengan syahwat, maka menurut jumhur ulama wajib membayar fidyah meskipun karena lupa. Sebab hal tersebut merupakan larangan ihram yang paling masyhur dan dilakukan dua orang sehingga tidak mungkin jika dilakukan karena lupa. Dan demikian itu adalah yang paling hati-hari. Tapi menurut sebagian ulama hal tersebut dima’afkan jika dilakukan karena tidak tahu atau lupa. Wallahu ‘alam.

5. HAIDH SEBELUM THAWAF IFADHAH DAN TIDAK DAPAT TETAP DI MEKKAH HINGGA SUCI

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita haidh sebelum thawaf ifadhah dan dia berasal dari luar Suadi Arabia, yang waktu kepulangannya telah tiba dan tidak dapat ditunda serta mustahil kembali lagi ke Saudi Arabia. Bagaimana hukum dalam hal yang demikian ini ?

Jawaban
Jika seorang wanita haidh sebelum thawaf ifadhah dan tidak dapat tinggal di Mekkah atau kembali lagi ke Mekkah kalau dia pulang sebelum thawaf ifadhah, maka dia boleh memilih salah satu dari dua hal, yaitu suntik untuk menghentikan darah haidh lalu dia thawaf, atau menyumbat darah haidh sehingga darahnya tidak menetes di masjid dan dia thawaf karena dharurat. Pendapat yang kami sebutkan ini adalah pendapat yang kuat dan dipilih oleh syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Tapi juga ada pendapat lain yang berbeda dengan pendapat tersebut, yaitu dengan memberikan pilihan salah satu dari dua hal. Pertama, dia tetap dalam ihram. Tapi suaminya tidak boleh menggaulinya, dan dia sendiri tidak boleh melakukan akad nikah jika belum bersuami. Kedua, dinilai terlarang menyempurnakan haji, yang karena itu maka dia wajib menyembelih kurban dan dia tahallaul dari ihramnya. Dalam kondisi ini dia dinilai belum haji. Dan masing-masing kedua hal dari pendapat kedua ini sangat sulit.

Maka pendapat yang kuat adalah pendapat Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Sebab kondisi seperti itu dalam keadaan dharurat, sedangkan Allah telah berfirman.

“Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]

Adapun jika wanita tersebut memungkinkan kembali lagi ke Mekkah ketika dia telah suci, maka tiada mengapa bila dia pergi ke Mekkah untuk thawaf ifadhah. Tapi dalam masa menunggu tersebut suaminya tidak halal untuk menggaulinya karena dia belum tahallul kedua.

6. SHALAT MAGHRIB DAN ISYA’ SEBELUM DI MUZDALIFAH

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang shalat Maghrib dan shalat Isya’ dengan jama’ ta’khir dan qashar sebelum masuk di Muzdalifah karena sebab yang mendesak, seperti mobil rusak di jalan ketika menuju Muzdalifah. Dan karena takut habisnya waktu Maghrib dan Isya, lalu dia shalat Maghrib dan Isya di perbatasan sebelum masuk Muzdalifah dengan jarak sedang, kemudian tidur sehabis memperbaiki mobil, lalu shalat Shubuh karena telah masuk Shubuh, dan baru sampai di Muzdalifah ketika pagi di mana matahari telah memancarkan sinarnya. Apakah masing-masing shalat Maghrib, Isya’ dan Shubuh tersebut sah karena dilakukan di perbatasan Muzdalifah ? Mohon penjelasan beserta dalilnya.

Jawaban
Shalat sah dilakukan di mana saja kecuali pada tempat yang tertentu dalam syari’at. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Bumi dijadikan masjid dan suci bagiku” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Tapi yang disyari’atkan bagi orang yang haji adalah, shalat Maghrib dan shalat Isya dengan jama’ di Muzdalifah di mana saja dia mampu melakukan (maksudnya : tidak harus di Masy’aril Haram seperti dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sebelum tengah malam. Tapi jika tidak mudah melakukan hal itu karena macet atau lainnya maka dia shalat Maghrib dan Isya di mana saja dan tidak boleh mengakhirkan keduanya sampai lewat tengah malam. Sebab Allah berfirman.
“Artinya : Sesunguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [An-Nisa’ : 103]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Waktu Isya sampai tengah malam” [Hadits Riwayat Muslim dari hadits Abdullah bin Amr bin Ash]

7. MEMPERBANYAK THAWAF SELAMA DI MAKKAH

Pertanyaan: Bolehkah seseorang itu melakukan Thawaf berulang-ulang selama di Makkah?

Jawaban: 

‘Atha` pernah berkata : “Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”. [Majmu’ al Fatawa, 26/266]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.

Alasannya, kata beliau rahimahullah, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhal yang telah Allah tetapkan di dalam KitabNya, berdasarkan keterangan NabiNya. Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnnya.

Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasulullah dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu. Beliau bersabda:

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى فِيْ أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

“Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka’bah dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang” [Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dengan berfirman :

“Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud” [al Baqarah/2:125]

Dalam ayat yang lain:

“Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku’ dan sujud” [al Hajj/22:26]

Pada dua ayat di atas, Allah menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka’bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku’ dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja. Nabi bersabda:

وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُورًا

“Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat pensuci bagi diriku” [HR. al-Bukhari – Muslim]

Maksudnya, Allah Subhanhu wa Ta’ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu. Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat. Karena tempat pelaksanaannya lebih umum.

Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28]

Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ سَبْعًا كَعِدْلِ رَقَبَةٍ

“Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian” [Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.].

Kesimpulannya : Memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[Majmu’ al Fatawa, 26/290]

[Dinukil dari tulisan Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa di www.almanhaj.or.id ketika membahas “Sebelas Alasan Tidak Melakukan Umrah Berulang Kali Saat Berada di Makkah”]

8. UMRAH BERULANG KALI SELAMA DI MAKKAH

Pertanyaan: Bolehkah seseorang itu melakukan Umrah berulang kali selama berada di Makkah karena sedang menunggu masa haji atau menunggu kepulangan setelah Haji?

Jawaban:

Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawanya. Keterangan beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’. [Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy Syarhul Mumti’, 7/407.]

Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan Umrah berulangkali, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu beliau bersabda : Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu. [Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.] [31]

Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallahu a’lam bish-shawab. [Dinukil dari tulisan Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa di www.almanhaj.or.id ketika membahas “Sebelas Alasan Tidak Melakukan Umrah Berulang Kali Saat Berada di Makkah”]

9. HAJI TANPA MAHRAM

Pertanyaan: Jika ada seorang wanita yang melaksanakan ibadah haji tanpa mahram, apakah hajinya sah? Apakah anak kecil yang sudah mumayiz bisa dianggap mahram? Apa yang disyaratkan dalam mahram?

Jawaban:

Hajinya sah, tetapi tindakannya dan perjaalannnya tanpa mahram hukumnya haram dan dia telah berbuat maksiat kepada Rasulullah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةَ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

Janganlah seorang wanita bersafar (menjadi musafir) melainkan ia bersafar bersama mahramnya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Anak kecil yang belum baligh tidak bisa disebut mahram, karena dia sendiri memerlukan perwalian dan penunjuk, maka anak kecil yang dalam kondisi seperti itu tidak mungkin bisa menjadi penunjuk dan wali bagi orang lain.

Syarat-syarat orang yang diperbolehkan menjadi mahram adalah muslim, laki-laki, baligh, dan berakal. Jika tidak memenuhi syarat-syarat itu, maka dia tidak disebut mahram.

Perlu diketahui bahwasanya wanita yang tidak punya mahram atau mahramnya belum mampu maka wanita tersebut berarti belum mampu dan tidak wajib untuk haji. Allah akan memberi pahala atas niatnya meski dia meninggal dalam keadaan belum berhaji.

Diambil dari www.konsultasisyariah.com

Manasik Umrah

Leave a comment

Tata cara atau manasik ibadah Haji dan Umrah sudah banyak terdapat di kitab-kitab fikih klasik maupun yang baru. Di Internet pun dengan mudah dapat dicari hanya dengan menuliskan kata kunci ‘manasik haji umrah’ di mesin-mesin pencari. Mudah dan sangat mudah. Ini adalah salah satu nikmat dari nikmat-nikmat Allah Ta’ala.

Tulisan ini dibuat dalam rangka murojaah menjelang keberangkatan Umrah 1432H dengan poin keberangkatan dari Muscat-Oman, tempat dimana kami sedang bermuqim saat itu. Perjalanan yang ditempuh adalah melalui udara, yang jika pesawat mendarat di Jeddah, maka akan memulai ihram di udara karena telah melewati miqat. Ini yang paling umum dilakukan. Sedangkan untuk musim haji, biasanya pesawat di-charter dan langsung mendarat di Madinah, sehingga tidak perlu memulai ihram di udara.

Tata cara manasik Umrah dari Muscat sebagai berikut:

1. Mandi untuk Ihram, memakai wewangian pada badan, dan memakai baju ihram. Dianjurkan mengerjakan langkah ini di rumah, mengingat kesulitan jika dilakukan di dalam pesawat. Kaidah fikih mengatakan “kesulitan mendatangkan kemudahan”.

عن زيد بن ثابت: أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم تجرد لإهلا له واغتسل

“Dari Zaid bin Tsabit: bahwasanya dia pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menanggalkan pakaiannya untuk berihram dan beliau mandi [HR At Tirmidzi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di Shahiih Sunanut Tirmidzi no. 830]

قالت عائشة رضي الله عنها : كنت أطيت رسول الله صلى الله عليه وسلم لإحرامه حين يحرم ولحله قبل إن يطوف بالبيت

” ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata: Aku pernah memakaikan wangi-wangian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya ketika akan memulai ihram, dan setelah bertahalul sebelum beliau thawaf (Ifadhah) di Baitullah [HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud di Shahiih Abi Dawud no 1745, dan yang lainnya]

2. Membaca do’a naik kendaraan. Biasanya untuk pesawat-pesawat di Arab, pilotnya tidak lupa membaca doa ini.

بسم الله الحمد لله سبحن الذي سخرلنا هذا وما كنا له مقرنين و إنا إلى ربنا لمنقلبون. الحمد لله, الحمد لله, الحمد لله.الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, سبحانك إني ظلمت نفسي فاغفرلي فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت

“Dengan Nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Segala puji bagi Allah 3x. Allah Maha Besar 3x. Maha suci Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosaku kecuali Engkau [HR Abu Dawud no 2602, At Tirmidzi no 3446, dan di Shahiih Abi Dawuud II/493 no 2267, serta Shahiih At Tirmidzi III/156 no 2742

3. Ketika di atas pesawat, hendaknya memberitahukan kepada yang betugas agar mengumumkan kepada penumpang jika pesawat sudah mendekati miqat dan juga ketika tepat di miqat. Biasanya petugas memang memberi pengumuman mulai kira-kira 30 menit menjelang miqat hingga tepat sampai miqat. Namun tidak ada salahnya mengingatkan kepada mereka sebelumnya.

Cara ihram orang yang datang ke Mekkah dengan naik pesawat adalah jika dia menghadap miqat dia harus berniat ihram. Oleh karena itu, sebelumnya disunnahkan baginya agar mandi dulu di rumahnya kemudian memakai pakaian ihram sebelum sampai di miqat, dan ketika sampai di miqat dia berniat haji atau umrah, dan dia tidak boleh terlambat, karena pesawat berjalan dengan cepat, sehingga satu detik saja dia terlambat maka dia telah melewati jarak yang sangat jauh. Ini masalah yang kadang dilupakan banyak orang. Sebagian orang ada yang tidak peduli. Ketika pegawai pesawat mengumumkan bahwa mereka telah sampai di miqat, dia baru mulai melepas pakaiannya dan memakai pakaian ihram. Tindakan semacam ini tidak semestinya dilakukan. Padahal para pegawai pesawat itu telah mengumumkan jauh sebelumnya dan juga sudah mengingatkan para jamaah haji sebelum pesawat yang mereka tumpangi sampai di miqat, sekitar seperempat jam (sebelumnya) atau yang lainnya. Semestinya, mereka berterima kasih atas pengumuman itu, karena jika para pegawai itu mengingatkan mereka dalam waktu yang longgar, berarti mereka mempunyai kesempatan untuk mengganti pakaian. Tetapi dalam keadaan seperti, diharapkan bahkan seharusnya bagi orang yang ingin ihram agar dia memperhatikan jamnya, sehingga ketika melewati saat-saat seperempat jam atau kurang dua atau tiga menit, dia telah membaca talbiyah dan berniat sesuai dengan ibadah yang akan dikerjakannya. Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Darul Falah, 2007. (Dengan pengubahan tata bahasa oleh www.konsultasi syariah.com)

4. Tepat sampai di Miqat (berdasarkan pemberitahuan dari petugas/awak pesawat), segera berniat Ihram dan membaca Talbiyah untuk Umrah لتيك اللهم بعمرة, setelah itu dianjurkan untuk terus bertalbiyah selama perjalanan menuju Makkah.

Bacaan Talbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لبيك اللهم لبيك  – لبيك لا شريك لك لبيك – إن الحمد و النعمة لك و الملك لا شريك لك

“Aku selalu menjawab panggilan-Mu, ya Allah. Aku selalu menjawab panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku selalu menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kekuasaan, hanya milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. [Shahih Bukhari no 1549 dan Muslim no 2491]

Masih ada beberapa bacaan talbiyah dari beberapa sahabat dengan memberikan tambahan, yang disetujui oleh beliau shallallahu’alaihi wasallam. Selengkapnya dapat dilihat di buku Meneladani Manasih Haji dan Umrah Rasulullah shallallahu’alihi wasallam karya Ustadz Mubarak bin Mahfudh Bamuallim Lc]

5. Setelah sampai di Masjidil Haram, hentikan talbiyah. Masuk  ke Masjidil Haram dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca do’a:

 أعوذ بالله العظيم وبو جهه الكريم وسلطايه القديم من الشيطان الجيم

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, kepada Wajah-Nya yang Mulia dan kepada Kekuasaan-Nya yang tidak berawal, dari godaan syaitan yang terkutuk” [HR Abu Dawud no 466, Shahiih Abi Dawud I/93 no 441. Apabila ia mengucapkan demikian, syaitan akan berkata “Ia terlindungi dariku sepanjang hari”]

atau membaca:

بسم الله وصلاة و سلام على رسول الله اللهم افتح لي أبواب رحمتك

“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada Rasulullah. [HR Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no 88 dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani]. Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu” [HR Muslim no 713]

6. Ketika melihat Ka’bah, ada atsar dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yaitu mengangkat kedua tangan lalu berdo’a dengan do’a-do’a yang mudah. Adapun Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu membaca doa:

اللهم أمت السلام ومنك السلام فحينا ربنا بالسلام

“Ya Allah, Engkau adalah Penyelamat (hamba-hambaMu dari kebinasaan). Dari Engkau pula keselamatan diharapkan, maka kekalkanlah kami dalam keselamatan” [HR Baihaqi dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di Manaasikul Hajj]

7. Memulai Thawaf, yaitu thawaf Qudum atau thawaf Umrah. Sunnah dalam thawaf Qudum/Umrah ini adalah dengan ber-idhthibaa’

 (الإضطباع), yaitu memasukkan kain ihram penutup pundak dari bagian bawah ketiak kanan, lalu ujungnya diletakkan di atas pundak kiri, sehingga pundak kanannya terbuka. [HR  Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di Shahiih Sunan Abi Dawuud I/526 hadits no 1883]

8. Menuju Hajar Aswad, lalu mengusap dengan tangan kanan, kemudian menciumnya, sambil membaca الله أكبر. Semua ini jika memungkinkan untuk dilakukan. Jika tidak mudah untuk melakukannya, maka bisa mengusapnya dengan tongkat kemudian mencium tongkat yang digunakan untuk mengusap. Dan jika inipun tidak memungkinkan, cukup dengan memberi isyarat dengan tangan kanan tanpa mencium tangan yang dipergunakan untuk memberi isyarat.

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يستلمه ويقبله

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma: “aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya” [HR Bukhari 1611]

Umar bin Khattab pernah berkata ketika akan mencium Hajar Aswad:

والله ! إني لأفبلك وإني أعلم أنك حجر وإنك لاتضر ولاتنفع ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلك ما قبلتك

“Demi Allah! Bahwasanya aku akan menciummu. Dan sesungguhnya aku tahu bahwasanya engkau hanyalah sebuah bagu; tidak mampu mencelakakan maupun memberi manfaat. Kalau saja bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, aku tidak akan menciummu” [HR Bukhari no 1610]

9. Berlari kecil antara Hajar Aswad sampai Rukun (sudut) Yamani pada 3 (tiga) putaran pertama, dan berjalan biasa antara Rukun Yamani sampai Hajar Aswad. Kemudian berjalan biasa pada 4 (empat) putaran terakhir. Memperbanyak dzikir dan do’a kepada Allah dengan dzikir dan do’a yang mudah dan menyampaikan hajatnya. Membaca do’a ربنا أتنا في الدنيا حسنة وفي الأخيرة حسنة وقنا عذاب النار ketika berjalan diantara Rukun Yamani dan Hajar Aswad

ما لنا و للرمل ؟ إنما كنا رائينابه المشركين وقد أهلكهم الله! ثم قال: شيء صنعه النبي صلى الله عليه وسلم فلا نحب أن نتركه

Dari Aslam, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata: “Kenapa sekarang kita harus berlari-lari (raml) kecil? Dulu, kita hanya ingin memperlihatkannya kepada orang-orang musyrik, padahal Allah telah membinasakan mereka! Kemudian beliau berkata: ‘Sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, kita tidak senang meninggalkannya'”.[HR Bukhari, Fat-hul Baari (III/550, no 1605]

10. Mengusap Rukun Yamani dan Hajar Aswad setiap putaran, jika memungkinkan. Ketika mengusap Rukun Yamani tidak membaca الله أكبر. Jika tidak mampu mengusap dikarenakan padatnya orang yang thawaf, maka tidak perlu memberi isyarat ke arahnya dengan tangan.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم  لا يدع أن يستلم الركن اليماني والحجر في كل طوفة

Dari Abdullah bin Ummar: “Dulu, Rasulullah shallallahu’alihi wasallam tidak pernah meninggalkan mengusap Rukun Yamani dan Hajar Aswad pada setiap putaran thawaf” [HR Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh al-Albani]

11. Setelah 7 (tujuh) putaran selesai, kemudian menutupkan kain ihram ke pundak dan berjalan menuju ke Maqam Ibrahim sambil membaca واتخذوا من مقام إبرهم مصلى “dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat” (Al Baqarah 125), lalu mendirikan shalat sunnah 2 rakaat dengan mengambil posisi di belakang maqam Ibrahim. Mengingat padatnya orang yang thawaf, tempat shalat bisa ditarik agak jauh ke belakang demi menghindari dilewati orang thawaf. Perhatikan masalah sutrah dimanapun kita berada. Disunnahkan membaca Surat Al Kafirun setelah Al Fatihah di rakaat pertama dan Surat Al Ikhlas setelah Al Fatihah di rakaan kedua.

(إنه كان يقرأ في الركعتين (قل ياأيها اكافرون) و (قل هو الله أحد

Dari Jabir: “Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam membaca Qul yaa ayyuhal Kaafiruun dan Qul huwa Allahu ahad pada dua rakaat thawaf” [HR Muslim no 128 dan Ibnu majah, Shahiih Sunan Ibnu Majah (III/63-64, no 2512)-redaksi diatas adalah dari Ibnu Majah]

12. Minum Air Zam-zam setelah selesai melaksanakan shalat sunnah

ثم ذهب إلى زمزم فشرب منهاوصب على رأسه

“Kemudian beliau shallallahu’alaihi wasallam menuju ke air Zamzam lalu meminumnya dan menuangnya di atas kepala beliau” [Hajjatun Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam halaman 58 poin 27]

13. Menuju ke Hajar Aswad untuk mengusapnya. Jika tidak memungkinkan cukup memberi isyarat dengan tangan kanan dan bertakbir.

14. Menuju ke bukit Shafa untuk melakukan Sa’i. Jika telah mendekati bukit Shafa membaca:

إن الصف و المروة من شعائر الله. فمن حج البيت أواعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما. ومن تطوع خيرا فإن الله شاكر عليم

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau mengerjakan Umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa’i diantara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri  kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Al Baqarah 158)

15. Kemudian membaca نبدأ كم بدأ الله به “Kami memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah”

16. Naik ke bukit Shafa hingga melihat Ka’bah, jika memungkinkan. Kemudian membaca dzikir sebagai berikut:

الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك و له الحمد يحي ويميت وهو على كل شيء قدير. لا إله إلا الله وحده أنجزوعده ونصرعبده وهزم الأحزاب وحده

“Allah Maha Besar 3x, Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Tiada sekutu bagiNya. Segala kekuasaan dan pujian hanya milikNya. Dia yang menghidupkan dan mematikan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, Dialah yang telah memenuhi janjiNya, menolong hambaNya, dan hanya Dialah yang mengalahkan pasukan sekutu”

17. Berdoa dengan mengangkat kedua tangan. Berdoa dengan do’a apa saja yang dikehendaki.

18. Ulangi bacaan dzikir no 16 diatas kemudian berdo’a lagi

19. Ulangi lagi sehingga mencapai 3 kali dzikir dan 3 kali do’a, kemudian langsung turun dan berjalan menuju Marwah.

20. Laki-laki dianjurkan berlari diantara dua tanta (lampu hijau) dengan lari yang cukup kencang, dan dianjurkan membaca do’a yang dibaca oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu: رب اغفر وارحم إنك أنت الأعزالأكرم ” Ya Rabb, ampuni dan rahmatilah (aku). Sesungguhnya Engkaulah yang paling perkasa dan paling mulia.

20. Ketika sampai di Marwah, lakukan seperti yang dilakukan di bukit Shafa.

21. Lanjutkan Sa’i hingga mencapai 7 putaran yang berakhir di Marwah. Dari Shafa ke Marwah dihitung 1 kali, dan dari Marwah ke Shafa dihitung 1 kali, demikian seterusnya hingga 7 putaran.

22. Setelah 7 putaran yang berakhir di Marwah, tidak perlu berdzikir seperti sebelumnya, kemudian bertahalul. Untuk laki-laki dengan memotong pendek seluruh rambut kepalanya. Bagi wanita dengan mengumpulkan semua rambutnya, lalu memotongnya sepanjang satu ruas jari.

Demikian sehingga selesailah manasik Umrah. Kami memohon Taufiq kepada Allah.

Muscat, 12 Jumadil Ula 1432H…menjelang keberangkatan Umrah 13 Jumadil Ula 1432/16 April 2011