Agar Al-Qur’an menjadi Furqan

2 Comments

Bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya permulaan Al-Qur’an. Maka dia telah menjadi bulan dimana kaum muslimin kembali mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an. Mereka membacanya, mengkhatamkanya, dan mengulang-ulangnya. Banyak kaum muslimin yang betah berlama-lama di masjid demi menyelesaikan juz demi juz dari mushaf Al-Qur’an, dengan harapan dapat menyempurnakan 30 juz ketika Ramadhan berakhir. Suatu pemandangan yang akan dijumpai hampir di tiap-tiap masjid. Betapa mereka tidak ingin ketinggalan meraup pahala dan berkah di bulan yang mulia ini.

Allah Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda” (Al-Baqarah 185)

Syaikh As-Sa’adi mengatakan dalam tafisirnya, “Bulan Ramadhan adalah bulan yang agung, bulan dimana kalian memperoleh di dalamnya kemuliaan yang besar dari Allah Ta’ala, yaitu al-Qur’an al-Karim yang mengandung petunjuk bagi kemaslahatan kalian, baik untuk agama maupun dunia kalian, dan sebagai penjelas antara yang benar dan yang batil, petunjuk dan kesesatan, orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara” (Tafsir Al-Sa’adi, surat al-Baqarah ayat 185).

Pada ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk memberikan petunjuk dan sebagai pembeda. Dimana ketika Allah menciptakan manusia agar beribadah kepadaNya, maka Dia menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk sebagai untuk melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya, menurunkan RasulNya untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diturunkanNya. Ketika Dia menciptakan Surga dan Neraka, maka Dia menurunkan al-Qur’an sebagai pembeda supaya manusia mengetahui mana jalan ke Surga dan mana jalan ke Neraka sehingga dapat memilih mana jalan yang mengantarkan kepada kebahagiannya serta menjauhi jalan yang akan membinasakannya.

Maka jelaslah tujuan diturunkannya al-Qur’an. Akan tetapi apakah setiap kaum muslimin telah mendapatkan apa yang yang menjadi tujuan tersebut (sebagai Petunjuk dan Pembeda)?  More

Pengantar Metodologi Tafsir

Leave a comment

Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  sebagai mu’jizat yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawattir serta membacanyaadalah ibadah. Diturunkannya kepada jin dan manusia agar bisa dijadikan petunjuk (hudan) dan pembeda (furqan) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)”. (QS. 2:185). Allah menurunkan al-Qur’an untuk dibaca dengan penuh penghayatan (Tadabbur), meyakini kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman, ” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. 4:82). Juga firman Allah , “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (QS. 47:24).

Agar bisa mewujudkan perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata; “Apabila anda ingin mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, maka pusatkanlah hati dan pikiran anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah pendengaran anda baik-baik karena Allah berf irman, ”Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, sebagaimana firman Allah, ”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (QS. 12: 2). Dengan demikian, orang yang ingin menafsirkan AL-Qur’an harus memahami bahasa Arab baik qaidah lughawiyahnya seperti nahwu, sharf (gramatical), maupun ta’biriyah (Linguistic) seperti majaz, balagah, I’jaz dan lainnya. Juga Ulumul qur’an seperti asbaab annuzul, nasikh mansukh, qira’ah dan lainnya. Studi interdisipliner juga diperlukan oleh seorang Mufassir, mengingat Al-Qur’an tidak hanya berbicara masalah keimanan, ibadah dan syariah saja, tetapi juga memuat isyarat-isyarat ilmu pengetahuan yang lainnya. Allahberfirman, “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab (QS.6 :38).

Sebagai sebuah metode, qaidah-qaidah penafsiran telah ada sejak zaman sahabat, namun menjadi sebuah disiplin ilmu yang berada di dalam ilmu tafsir, penentuan tahunnya agak sulit dilacak. Yang jelas ketika ekspansi dakwah islam masuk wilayah-wilayah ajam (non Arab) dan ajaran Islam tersebar luas terutama abad ketiga hijrah, maka di sini muncul ilmuan muslim yang mengajarkan Islam termasuk menulis masalah Islam sesuai dengan disiplin mereka masing-masing. Untuk memudahkan mereka melakukan penafsiran sekaligus memberikan rambu-rambu agar tidak terjerumus dalam kesalahan, maka dibakukanlah qaidah-qaidah tersebut.

Secara global penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan oleh Al-Qur’an sendiri. Ayat-ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempatakan dijelaskan di tempat lain, baik itu disebutkan pada tempat yang sama seperti firman Allah “Tahukah kamu apa itu malam lailatul qadr?, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan” atau disebutkan pada tempat (surat) yang lain sebagaimana tafsir ayat “Jalannya orang-orang yang diberi nikmat” adalah ayat ”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69).

Apabila methode ini tidak ada, maka menafsirkan Al-qur’an dengan Sunnah Rasulullah. Karena ia merupakan penjelasan bagi al-Qur’an. Rasulullah  bersabda, “Aku diberi Al-Qur’an dan sesuatuyang serupa dengannya (yaitu As-Sunnah) (HR. Muslim ). Ketika A’isyah ditanya bagaimana kepribadian (akhlak) Rasulullah , Beliau menjawab: “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an (HR. Muslim ).

Apabila tidak ada tafsiran dari Sunnah Rasulullah, maka mempergunakan perkataan Sahabat. Karena mereka melihat fakta dan realita kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud berkata; “Demi Allah yang tidak adaTuhan selain-Nya, tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui untuk siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia”.

Begitu juga dengan Abdullah bin ‘Abbas yang dijuluki oleh Rasulullah  sebagai Tarjuman AL-Qur’an dan sahabat yang lain seperti Said bin Musayyab, dan lainnya. Kalau dengan Al-Qur’an, Sunnah dan perkataan sahabat tidak ada, maka sebagian Ulama mengharuskan merujuk kepada perkataan Tabi’in. seperti Hasan Bashri, Atha’ bin Rabah, Mujahidbin Jubair murid Abdullah bin Abbas yang pernah mengemukakanAl-Qur’an dari awal sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap ayat yang dibaca. Sufyan At-Tsauri berkata; Apabila ada tafsir dari Mujahid maka itu sudah cukup.

Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, menyebutkan penafsiran itu ada empat macam: Pertama, Penafsiran yang diketahui oleh orang Arab melalui tuturannya. Kedua, Penafsiran yang bisa diketahui oleh semua orang yaitu yang menyangkut halal dan haram. Ketiga, penafsiran yanghanya diketahui oleh para Ulama, Keempat, Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.

Karena Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab, maka untuk memahami apalagi menafsirkannya dibutuhkan pemahaman terhadap bahasa Arab dan qaidah-qaidahnya, di samping pemahaman terhadap ulumul qur’an yang lain, juga fikih, qawaiddan ushulnya, dan disiplin ilmu yang lain sebagai penunjang. Menafsirkan ayat-ayat Allah dengan al-ahwa (napsu) semata tanpa didasari dengan ilmu dan pengetahuan termasuk kebohongan terhadap Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS.16: 116)

Rasulullah dalam banyak haditsnya mengingatkan untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, di antaranya adalah: “Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya atau tanpa dilandaskandengan ilmu maka silahkan mengambil tempatnya di neraka”. Dandalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’andengan pendapatnya, maka ia telah keliru”, (HR. Turmudzi, AbuDaud, dan Nasa’i). Abu Bakar berkata; “Langit yang mana aku bernaung, bumi yang mana aku berpijak, kalau aku menafsirkan Kitabullah tanpa ilmu”. Ini menunjukkan kehati-hatian ulama’ salaf (sahabat, tabi’indan berikutnya), untuk menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa berlandaskan hujjah dan argumentasi yang jelas. Adapun penafsiran yang dilakukan dengan dasar ilmu dan pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah maka tidaklah termasuk dalam ancaman diatas, menafsirakan AL-Qur’an dengan ijtihad ra’yu sudah ditradisikan sejak zaman Rasulullah, dan itu dilakukan oleh isteri beliau Aisyah yang banyak menafsirkan masalah-masalah penting dalam agama. Dan Rasulullah sendiri merekomendasikan Mu’adz bin Jabal untuk melakukan Ijtihad dengan ra’yu, dalam memutuskan permasalahan ummat, apabila dia tidak mendapatkan jawabannya itu pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan hal seperti ini mesti dilakukan agar Al-Qur’an benar-benar bisa menjadi hudan (petunjuk) bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan diakhirat. Walllahu A’lam.

Dipindahkan dari e-book “Pengantar Metodologi Tafsir”  — semoga Allah membalas kepada penulisnya dengan kebaikan yang banyak.

© Copyright Maktabah Abî Salmâ al-Atsarî 2007

URL: http://dear.to/abusalma

Email : abu.salma81@gmail.com