Cara Benar Dakwah Tauhid

Leave a comment

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Kami sering mendapatkan pertanyaan yang membuat bingung sejumlah dai. Ada seorang yang tiba di sebuah negeri muslim akan tetapi kemusyrikan tersebar di negeri tersebut semisal orang yang melakukan kemusyrikan di dekat kubur dengan berdoa dan meminta bantuan kepada orang yang sudah mati. Dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah cara dakwah yang tepat adalah mendakwahi mereka untuk mengerjakan shalat dengan baik dan membuat hati mereka untuk lapang dada menerima dakwah kemudian baru di kemudian hari baru ada penjelasan tentang kemusyrikan yang mereka lakukan dan mengajak mereka kepada tauhid yang benar ataukah langsung mendakwahi mereka kepada tauhid dengan menyampaikan bahwa meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati adalah kemusyrikan?

Jawabannya, sikap yang lebih baik adalah mendakwahi mereka untuk melakukan hal hal yang disepakati semua pihak sebagai suatu hal yang diperintahkan sehingga jiwa dan hati mereka mantap dan tenang menerima dakwah yang kita sampaikan. Hal ini kita lakukan sebagai batu loncatan untuk mendakwahkan tauhid dan tidak berhenti di situ saja. Dengan demikian kita menjadi orang yang ‘cerdas’ mendakwahkan Islam kepada masyarakat”

[Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin jilid 27 hal 67, cet pertama 1430 H terbitan Dar Tsuraya Riyadh].

reposting dari: ustadzaris.com

Bersabar dalam Bergaul

Leave a comment

Dalam pergaulan dengan manusia tidak akan lepas dari 2 kemungkinan, apakah mewarnai atau diwarnai. Mewarnai maksudnya memberikan pengaruh, sedangkan diwarnai maksudnya terpengaruh. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberikan perumpamaan yang sangat baik, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang pergaulan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Demikian juga beliau shallallahu’alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa keadaan agama seseorang itu dapat dilihat dari keadaan agama teman dekatnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Demikian itu menunjukkan betapa pentingnya dalam memilih teman bergaul.

Setelah memahami rambu-rambu dalam pergaulan dan segala kemungkinan yang akan terjadi, akankah kita tetap bergaul dengan manusia atau lebih baik hidup menyendiri jauh dari manusia yang kebanyakan melakukan perbuatan yang melampaui batas? Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas perangai buruk mereka lebih besar pahalanya daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dengan perangai buruk mereka.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan Albani). More

12 Kiat Membuat Membaca Jadi Bermanfaat

Leave a comment

Di antara yang bisa membantu seseorang dalam memanfaatkan waktunya adalah dengan membaca, dan ini adalah salah satu wasilah (sarana) untuk mendapatkan ilmu. Tapi sering kita saksikan bahwa seseorang menjadikan kegiatan membaca, sesuatu yang berat dan sulit diwujudkan. Dengan izin Allah apabila seseorang memperhatikan kiat-kiat di bawah ini Insya Allah dia tidak akan berat untuk membaca, bahkan dia akan rindu untuk membaca.

1. Berniat

Suatu perbuatan apabila diawali dengan niat yang benar, maka pekerjaan itu akan diberkahi oleh Allah. sebaliknya apabila niatnya salah, maka amalan-amalan yang ia lakukan akan menjadi sia-sia. Dengan niat yang ikhlas maka pekerjaan berat akan teras ringan. Ibnu Mubarak rahimahullah berkata “Pertama yang harus dihadirkan untuk mendapatkan ilmu adalah niat yang benar, kemudian mendengar, lalu memahami, kemudian menghafal, lalu mengamalkan, serta kemudian menyebarkan (berdakwah)” [Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhlihi 1/476 no: 759]

Malik bin Dinar berkata “Barangsiapa yang mencari ilmu untuk diamalkan maka Allah memberinya taufik kepadanya, dan barangsiapa yang mencari ilmu tidak untuk diamalkan, tidaklah akan bertambah dengan ilmu tersebut kecuali kesombongan”

Malik bin Dinar juga berkata “Barangsiapa yang mencari ilmu untuk dirinya sendiri maka ilmu yang sedikit baginya sudah cukup, dan barangsiapa mencari ilmu untuk manusia, maka kebutuhan manusia sangatlah banyak” [Kitab Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhlihi]

Catatan: Niat yang benar meliputi: Ikhlas karena Allah, untuk menghilangkan kebodohan sendiri dan manusia lainnya, untuk diamalkan

2. Bersabar

Seseorang yang sedang membaca sangatlah membutuhkan kesabaran, apabila tidak sabar maka dia akan meninggalkan aktifitas ini. Kesabaran dibutuhkan ketika harus memandangi buku berjam-jam, ketika mengalami kesulitan-kesulitan dalam bahasa, harus membuka kamus, menghabiskan waktu yang lama, ketika tak kunjung paham, atau saat rasa kantuk menyerang. Lawan dari sabar adalah putus asa. Dan sifat ini harus dibuang jauh-jauh karena sifat ini tercela dan sangat merugikan.

Dikisahkan, seorang ‘alim bernama Kisai berkali-kali belajar ilmu nahwu namun tidak kunjung paham. Suatu ketika beliau mengamati semut yang membawa makanan dan berusaha melewati dinding akan tetapi berkali-kali jatuh, namun semut ini tidak pernah putus asa, selalu mengulanginya lagi hingga akhirnya semut itu berhasil melewati dinding. Akhirnya, beliau berusaha terus hingga paham dan menjadi Imamnya ilmu Nahwu di Kufah.

3. Istiqamah

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dikerjakan terus menerus (istiqamah) meskipun sedikit” [Muttafaq ‘alaihi]

Oleh karena itu, lebih baik baca sedikit setiap hari dan menjaganya, daripada membaca banyak kemudian ditinggalkan.

4. Memikirkan Umat dan Memenuhi Kebutuhan-kebutuhan Mereka, Terutama Masalah Ilmu

Di zaman ini, manusia sangat butuh akan ilmu dibandingkan kebutuhan manusia pada makanan, minuman, dan kebutuhan yang lainnya. Apabila seseorang memikirkan akan kebutuhan umat dan inginmembantu untuk memberikan ilmu pada mereka, maka hendaklah dia belajar dengan sungguh-sungguh dan banyak meluangkan waktunya untuk mencari ilmu, salah satunya dengan membaca. Dengan membaca, seseorang akan banyak mendapatkan ilmu yang belum dia ketahui. Dengan memikirkan kebutuhan umat serta ingin memenuhi kebutuhan mereka maka dia akan semangat dan terus semangat dalam membaca dan tidak bermalas-malasan karena umat sedang menunggu.

Catatan: Jika kita memikirkan kebutuhan umat yang sangat beragam, maka kita pun akan berusaha mempelajari ilmu yang beragam untuk membantu masalah-masalah yang sering dihadapi atau kemungkinan besar akan dihadapi umat. Namun jika kita hanya memikirkan diri kita sendiri, maka kita akan merasa cukup untuk mempelajari ilmu sekedar untuk masalah kita sendiri.

5. Menyendiri

Ketika membaca, hendaklah berusaha mencari waktu dan tempat yang nyaman, tenang tanpa ada gangguan, karena dengan ini akan lebih konsentrasi dan semangat ketika membaca. Oleh karena itu pilihlah waktu yang tepat, misalnya pada malam hari ketika manusia tertidur lelap, maka bagilah waktu untuk shalat malam (tahajud), berdo’a, dan membaca.

6. Memberikan Manfaat kepada Orang Lain

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling bermanfaat, dan amalan-amalan yang dicintai oleh Allah adalah memberikan rasa gembira kepada seorang muslim, membantu melepaskan kesusahannya, atau membantu melunasi hutangnya” [Riwayat Ibnu Abi Dunya dan Thabrani, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitab Silsilah Hadits Shahih no. 906]

Apabila seseorang ingin memberikan manfaat kepada orang lain, terutama dalam masalah ilmu syar’i, hendaknya dia belajar dengan sungguh-sungguh dan menumbuhkan rasa ingin memberikan manfaat yang banyak kepada manusia. Dengan ini, insya Allah dia akan lebih bersemangat untuk membaca.

7. Menjauhi kemaksiatan dan Selalu Menjaga Ketaatan

Imam Syafi’i berkata “Saya mengadu kepada guruku Waki’ tentang jeleknya hafalanku, maka beliau menyarankan kepadaku supaya meninggalkan maksiat dan beliau mengabarkan kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat”

Apabila hati sudah bernoda, maka dia akan malas menjalankan ketaatan kepada Allah dan tidak akan bisa menikmati manisnya ibadah kepada Allah. Sebaliknya jika seseorang menjaga ketaatan kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan, maka hatinya akan bersinar, tenang, dan mudah mendapatkan ilmu, serta rindu dengan membaca.

8. Mencatat Hal-hal Penting

Tabiat manusia adalah sering lupa, maka alangkah baiknya ketika seseorang membaca maka menulis poin-poin yang penting, jangan sampai pembaca tidak menangkap buruannya. Ibnu Katsir rahimahullah berkata “Ikatlah ilmu dengan tulisan”. Kita akan semakin bersemangat jika bisa mencatat manfaat yang bisa diambil dari kegiatan membaca.

Catatan penting bisa diberikan pada pinggir buku yang dibaca, atau pada buku tulis tersendiri dengan selalu mencantumkan nama kitab, pengarangnya, penerbit, cetakan, halaman, dan informasi lainnya yang dianggap penting. Jangan merasa sayang jika harus memberikan corat-coret pada buku yang baru dibeli.

9. Merujuk Kitab-kitab Besar dan Memperluas Pembahasan Suatu Masalah

Ketika sedang membaca dan menemukan hadits tanpa penjelasan ulama, maka seseorang hendaknya memperluas bacaannya dengan melihat kitab-kitab yang ada penjelasannya dari para ulama untuk menambah wawasan, tanpa fanatik terhadap madzhab tertentu, akan tetapi mengembalikan semua perkara pada Al-Qur’an dan Sunnah. Begitu juga ketika menjumpai ayat yang dikutip, maka seorang pembaca bisa memperluas dengan melihat tafsir ayat tersebut dari kitab-kitab tafsir yang muktabar.

10. Konsentrasi

Ketika seseorang sedang membaca, tentunya dia harus memperhatikan apa yang sedang dibacanya, manfaat apa yang  ingin didapat dari bacaannya itu. Beberapa hal yang bisa membantu konsentrasi diantaranya:

Pertama, Memilih tempat yang tenang dan nyaman, jauh dari gangguan kebisingan dan yang lainnya.

Kedua, Tidak menghiraukan bisikan syaitan jika mengajak berpaling dari yang sedang dibacanya.

Ketiga, Mematikan ponsel atau menjauhkan untuk sementara. Hal ini tidaklah mutlak, melainkan sesuai dengan keinginan. Jika sedang tidak ingin diputus kenikmatan membaca dengan telepon atau SMS, maka hendaknya menjauhkan dari ponsel.

Keempat, Lampu yang terang, karena lampu yang terang akan lebih membantu konsentrasi dalam membaca.

Kelima, Menguasai bahasa dari buku yang sedang dibacanya. Semakin mengerti bahasa dari materi yang dibaca, akan semakin terasa nikmat membaca sehingga semakin membantu konsentrasi.

11. Memperhatikan Poin-poin yang Penting Ketika Membaca

Diantara poin-poin yang penting untuk diperhatikan adalah:

Pertama, Ta’rif, yaitu pengertian suatu masalah

Kedua, Contoh-contohnya

Ketiga, Pembagian-pembagiannya

Keempat, Hukum-hukumnya

Kelima, Memahami ikhtilaf (perbedaan-perbedaan pendapat) ulama (dalam masalah fikih) dan mengambil pendapat yang rajih (paling kuat).

Keenam, Mengetahui aqidah yang haq (benar) dan yang batil (menyimpang) untuk menjauhi dan membantah syubhat-syubhat dari aqidah yang batil.

12. Berdo’a

Do’a adalah senjatanya orang mukmin. Tidaklah cukup seseorang itu hanya mengambil sebab dan meninggalkan do’a. Oleh karena itu, tawakal yang hakiki adalah dia mencari sebab dan juga tidak meninggalkan do’a, kemudian menyerahkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala.

Ketika seseorang merasa malas untuk membaca, maka carilah penyebabnya. Setelah mengetahui penyebabnya, kemudian berusahalah memperbaikinya, serta bersungguh-sungguh berdo’a kepada Allah agar diberi kemudahan dan kenikmatan ketika membaca.

Catatan: Tentunya, syarat-syarat dikabulkannya do’a harus diusahakan untuk dipenuhi, serta penghalang-penghalang dari tidak dikabulkannya do’a juga diusahakan untuk dihilangkan.

***************************

Diselesaikan di kampung halaman, diringkas dari majalah NIKAH sakinah, Volume 10, no. 3 2011, artikel berjudul “Kiat-kiat Meraih Manfaat Membaca” tulisan Budi Suryanto Abu Muhammad, dengan beberapa perubahan redaksi dan tambahan catatan.

Ridho Siapa yang Dicari?

Leave a comment

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuliskan surat kepada Mu’awiyah. Isinya sebagai berikut:

“Salam untukmu. Amma Ba’du. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Barang siapa mencari ridho Allah dengan membuat manusia murka, maka Allah akan bereskan urusannya dengan sesama manusia. Tetapi barang siapa mencari ridho manusia dengan membuat Allah murka maka Allah akan serahkan orang tersebut kepada manusia’ Wassalamu ‘alaika.” (HR. Tirmidzi. Dalam As Silsilah Ash Shohihah, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid mengatakan, “Apabila seseorang mencari ridho Rabbnya dengan niat yang tulus, maka Allah akan ridho kepadanya karena dialah yang paling mulia dari hamba-Nya… karena hati seseorang di antara dua jari dari jari-jemari Allah ta’ala. Allah-lah yang membolak-balikkan hati siapa saja yang dikehendaki-Nya [HR. Muslim, no. 2654]…Dan barang siapa yang mencari ridha manusia namun membuat Allah murka, maka hasilnya adalah dia akan mendapatkan lawan dari maksudnya tersebut.”

Hadits ini bisa menjadi yang sangat penting bagi para da’i dan selainnya, baik da’i itu seorang ustadz maupun bukan. Karena tidak setiap da’i itu harus seorang ustadz, sedangkan menjadi da’i adalah kewajiban setiap muslim sebagaimana diperintahkan Allah ta’ala “Wahai orang-orang yang beriman selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu” [At Tahrim 6].

Bagaimana hubungannya?

Yang namanya da’i (orang yang menyeru/berdakwah), tentu proses dakwah hanya bisa berjalan jika ada mad’u (orang yang diseru/didakwahi). Tanpa mad’u, sang da’i tidak bisa “beraksi”. Dan keluarga sang da’i itu sendiri adalah ma’du-nya yang pertama.

Kadangkala, sang da’i ingin mengambil hati mad’u nya, baik dengan niat menyampaikan dengan hikmah atau niat-niat lainnya seperti berharap mendapat pengikut yang banyak, menjadi populer, mengharapkan imbalan, karena hutang budi, dan berbagai motif lainnya. Niat untuk menyampaikan dengan hikmah tentu sebuah niat yang benar dan memang harus diusahakan, sedangkan niat lain yang disebutkan selainnya bukanlah niat-niat yang benar. Dan hal ini amat sangat disayangkan jika dimiliki seorang da’i. Maka menjadi kewajiban setiap da’i untuk selalu mengikhlaskan niatnya, menetapkan tujuannya semata-mata untuk mencari ridho Allah Ta’ala, tidak menyembunyikan kebenaran demi popularitas sesaat dan tujuan-tujuan yang rendah lainnya, serta bersabar terhadap reaksi objek dakwahnya, yang bisa berupa penerimaan, penolakan, atau bahkan perlawanan.

Cukuplah kisah para Nabi dan Rasul yang mulia menjadi cerminan betapa tidak ada dakwah yang sepi dari gangguan dan penolakan. Kemurkaan manusia bisa berubah menjadi keridhaan jika kebenaran telah ditampakkan padanya. Dan itu mudah bagi Allah. Sebaliknya keridhaan manusia pun bisa berubah menjadi kemurkaan jika dia menyadari telah dijauhkan dari kebenaran yang diinginkannya. Semua itu sangat mudah bagi Ar Rahman. Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehandakiNya dan menyesatkan siapa saja yang dikehendakiNya.

——————————————————————————-

Sebuah catatan untuk menghibur dan mengingatkan diri sendiri.

Debat Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij

Leave a comment

أدع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هيي أحسن. إن ربك هو إعلم بمن ضل عن سبيله, وهو أعلم بالمهتدين

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” [An-Nahl: 125]

Dialog antara Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dengan kaum Khawarij adalah sebuah gambaran praktek dakwah oleh seorang yang mendalam ilmunya serta indah akhlaknya. Banyak hikmah dan faedah yang bisa diambil dari momen yang sangat berharga ini. Ibnul Jauzi membawakan kisah ini dalam kitabnya Talbis Iblis.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali radhiyallahu ‘anhu, berkumpul di satu daerah untuk keluar dari ketaatan (memberontak) kepada khalifah. Mereka ketika itu berjumlah enam ribu orang.

Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang yang mengunjungi Ali radhiyallahu ‘anhu melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”

Beliau menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”

Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali radhiyallahu ‘anhu. Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali radhiyallahu ‘anhu mengizinkanku.

“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pusat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”

Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas. Apa gerangan yang membawamu kemari?”

Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, yang kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Qur’an daripada kalian.”

Pelajaran yang bisa diambil dari perkataan Ibnu ‘Abbas diantaranya:

  1. Sebelum memulai perdebatan, beliau mengingatkan bahwa beliau mewakili kaum yang Allah telah ridho padanya dan mereka pun ridho kepada Allah (lihat surat At Taubah ayat 100)
  2. Beliau mengingatkan akan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang selain sebagai sahabat juga menjadi menantu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
  3. Beliau mengingatkan bahwa sahabat dari Muhajirin dan Anshar adalah kaum yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an sehingga merekalah yang paling mengerti maknanya. Dan penggalan ini juga mengisyaratkan bahwa seharusnya cara beragama yang benar adalah dengan mengembalikan kepada pemahaman para Sahabat radhiyallahu’anhum karena mereka adalah kaum yang paling mengerti tafsir dan praktek dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Muqadimah ini seakan-akan sebagai “gertakan” kepada lawan debat (Khawarij) bahwa kebenaran ada pada sisi pendebat (Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma)

Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–, berkatalah sebagian Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu). Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)

Perkataan ini menunjukkan kebodohan mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah mendo’akan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu untuk menjadi orang yang paham terhadap agama serta tafsir “اللهم فقه في الدين و علمه تئويل” Ya Allah, faqihkan dia dalam agama dan ajarkanlah dia ta’wil (tafsir) [HR Bukhari – Muslim]

Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.

Aku berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah n beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, Tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali radhiyallahu’anhu adalah orang) yang paling mengerti dengan tafsir Al-Qur’an?”

Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.”

Aku berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”

Mereka berkata: “Pertama: Sungguh dia telah jadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah Ta’ala, padahal Allah Ta’ala berfirman: إن الحكم إلا لله “…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah...” (Yusuf: 40)

Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah l.[3]

Yang dimaksud mereka adalah ketika Ali radhiyallahu’anhu melakukan tahkim (berhukum) dengan keputusan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu dari pihak beliau dan ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhuma untuk melakukan shulh (perdamaian), demi menjaga darah-darah muslimin setelah sebelumnya terjadi perang Shiffin di bulan Shafar tahun 37 H.

Aku berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”

Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia telah berperang dan membunuh tapi dia tidak mau menawan dan tidak mengambil rampasan perang. Padahal (jika) yang diperangi itu orang kafir, maka boleh menawan dan mengambil harta mereka. Andaikan yang diperangi itu orang-orang mukmin, tentunya tidak halal memerangi mereka.”

Yaitu perang Jamal tahun 36 H. Perang antara barisan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan barisan Aisyah radhiyallahu’anha. Hal yang harus diketahui tentang perang Jamal, bahwasanya dalam perang tersebut sama sekali Ali bin Abi Thalib maupun Aisyah tidak menginginkan adanya peperangan. Yang terjadi adalah keinginan Aisyah untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah, Az-Zubair dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Namun para penyulut fitnah tidak tinggal diam dengan ketenangan dan perdamaian yang terwujud. Mereka melakukan makar dengan memunculkan penyerangan dari dua kubu sekaligus. Maka Ali menyangka beliau diserang, sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah menyangka diserang sehingga harus membela diri, hingga terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui pula, bahwasanya tidak ada seorang sahabat pun yang ikut dalam fitnah tersebut. (Lihat Al-Bidayah wa Nihayah seri Khulafa’ur Rasyidin karya Ibnu Katsir)

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”

Mereka berkata: “Ketiga: Dia telah hapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”

Perkataan mereka ini menunjukkan betapa mereka sangat cepat memberikan vonis kafir dan memberontak kepada pemimpin yang sah dengan pemahamannya sendiri.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Adakah pada kalian alasan selain ini?” Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali radhiyallahu’anhu telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”

Perhatikan persyaratan yang diajukan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma sebelum menyelesaikan perdebatan, yaitu menentukan tempat kembali jika ternyata yang didebat berada pada kesalahan. Sehingga perdebatan yang dilakukan membawa hasil yang diinginkan, yaitu mengajak kembali kepada Rabb (Surat An-Nahl 125). Maka perdebatan yang baik untuk mengajak/menyeru untuk kembali kepada Rabb ‘Azza wa Jalla adalah debat yang diperintahkan.

Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah: 95)

Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah Ta’ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa: 35)

Maka demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”

Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?” Mereka berkata: “Ya.”

Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiyallahu’anhu telah memerangi tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).

Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Ta’ala berfirman:

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”

Mereka menjawab: “Ya.”

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali radhiyallahu’anhu telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi? Ketika itu Rasulullah n bersabda kepada Ali radhiyallahu’anhu: “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…” Segera orang-orang musyrik berkata: “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untuk menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian)

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lebih mulia dari Ali radhiyallahu’anhu. Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”

Sungguh sebuah kisah yang penuh dengan keteladanan dalam mendebat. Tidak ada kata-kata kasar maupun cacian yang keluar dari lisan Ibnu ‘Abbas, padahal yang dihadapi beliau adalah suatu kaum yang merupakan cikal bakal bid’ah, yang darinya muncul cabang-cabang bid’ah yang banyak. Beliau radhiyallahu’anhu tampil dengan penuh percaya diri karena berada diatas kebenaran, mendebat dengan niat yang ikhlas, serta dibarengi dengan ilmu yang mendalam. Maka dari itu, perhatikanlah kisah ini.

Selesai jam 22.21 waktu Muscat, 12 April 2011

Beberapa faedah dicatat dari kajian Ushul Sunnah yang disampaikan Ustadz Abdullah Zaen MA ketika membahas pasal:

“وترك المراء والجدال والخصومات في الدين”

Kisah dialog ini juga terdapat dalam kitab Al-Mustadrak karya Al-Imam Al-Hakim (2/150-152), dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Imam Muslim